Minggu, 01 April 2012

Cita-cita yang Sebenarnya

Sewaktu TK, aku belajar bermimpi.
Ingin jadi guru.
Ingin jadi dokter.
Ingin jadi pilot.
Ingin jadi masinis.
Ingin jadi arsitek.
Ingin jadi seniman.
Ingin jadi penulis.
Ingin jadi penyair.
Ingin jadi reporter.
Ingin jadi penyiar.
Ingin jadi polisi.
Ingin jadi pengacara.
Ingin jadi semua yang kudengar, kukenal, atau kubaca dari buku.
Maka, tiap kali orang dewasa bertanya,
“Apa cita-citamu?”
Aku menjawab dengan hal berbeda tiap bulan berbeda.
Rasanya cita-cita adalah gulali, yang bisa kupilih variasi rasanya, kapan pun aku mau.
Rasanya manis, tentu saja.
Karena itu aku begitu bersemangat untuk bermimpi.
Sewaktu SD, aku belajar menyukai mimpi.
Kupilih yang benar-benar kusuka.
Ingin jadi dokter, karena aku sering ke dokter.
Ingin jadi guru, karena guruku baik sekali.
Ingin jadi penulis, karena aku suka membaca.
Rasanya cita-cita seperti cokelat.
Lebih manis lagi.
Karena itu aku benar-benar menyukainya.
Sewaktu SMP, aku belajar memahami mimpi.
Kusimak nasihat-nasihat guruku.
Kucatat baik-baik di bukuku, di hatiku.
Kuselami ia di lautan makna.
Kuhirup ia, kuresapi, dan kubiarkan ia mengalir dalam darahku.
Kusimak pelajaran dari mereka, dan hatiku berkata,
“Oh, kurasa aku mulai memahaminya.”
Setiap orang memiliki cita-cita yang berbeda,
Mimpi yang berbeda,
Target-target kehidupan yang berbeda..
Tapi, selalu ada satu hal yang harus melatarbelakanginya : kemanfaatan.
Tak peduli menjadi tukang sapu ataukah presiden,
Tak peduli seorang guru TK atau profesor,
Tak peduli seorang tukang koran atau pemilik penerbitan besar,
Semuanya harus bermuara pada satu lautan yang sama,
Semuanya harus berlayar menuju pelabuhan yang sama
: kemanfaatan
Oh, betapa banyak orang bermimpi menjadi yang besar, tapi tak paham ke mana mereka harus menuju,
Hingga ia mencederai dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bahkan negaranya..
Apa hebatnya seorang pejabat yang korupsi dibanding seorang satpam yang jujur?
Pejabat-pejabat itu hanya membuat anaknya bertanya-tanya tentang bentuk kasih yang mereka berikan padanya,
“Apakah ketidakjujuran ayahku harus membuatku menderita sepanjang masa?”
Mereka memang kaya, tinggi, dan dihormati,
Tapi mereka hanya punya kebohongan dalam hidupnya..
Sementara anak-anak satpam yang hidup dalam kesederhanaan selalu tersenyum bahagia dan tertidur lelap tanpa dihantui rasa takut,
Toh ayahnya yang hebat akan selalu menjaganya.
Sewaktu aku SMA, aku belajar menitipkan mimpi
Aku tak mungkin menjadi guru, dokter, pilot, masinis, arsitek, seniman, penulis, penyair, reporter, penyiar, polisi, dan pengacara sekaligus,
Meski aku tahu negeriku membutuhkan peran mereka semua.
Tiap bidang memiliki kompleksitas tersendiri, dan aku sadar aku tak bisa meloncat ke sana kemari untuk menguasainya.
“Setiap orang harus menjadi ahli di bidangnya masing-masing.”
Maka, aku mulai menitipkan mimpiku..
Kusampaikan pada teman-teman seperjuanganku,
bahwa kami semua harus menjadi ahli di bidang kami masing-masing,
karena jika sudah begitu,
lebih mudah bagi kita untuk membangun negeri yang indah
seseorang yang ahli pada bidang tertentu lebih dibutuhkan daripada mereka yang tak pernah serius di bermacam bidang..
dan tentu saja, aku tak pernah lupa mengatakan,
“Oh, dan yang terpenting, temanku yang baik.. Kau harus menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan tempat tinggalmu, bahkan negara kita yang besar ini. Karena, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain..”

(Source: anginvenus.wordpress.com)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;