Rabu, 09 Oktober 2013

Mati Lampu

Salah satu momen yang paling aku sukai adalah mati lampu.

Mati lampu lah alasan paling logis bagi ayahku untuk meninggalkan semua email yang menghantuinya sepanjang 24 jam, dan alasan yg sama untuk ibuku. Mati lampu lah yang menghentikan kakak dari semua tugas dan diktat kampusnya, dan melepaskan adik dari games paling menarik di komputernya sekalipun.

Mati lampu seolah-olah menjadi penyelamat keluarga kami, menjadi alasan kami untuk berkumpul di ruang tengah, bersenda gurau sambil menanyakan kehidupan masing-masing personil keluarga, mesra dengan sepotong lilin menyala diantara kami. Membantu setiap anggota keluarga untuk meninggalkan elektronik favoritnya, peduli dan berkomunikasi dengan paling tidak manusia di sekitarnya, meskipun hanya sekedar untuk bertanya mengapa lampu padam.

***
Blam. Hari ini kuputuskan untuk memadamkan lampu di jakarta, lagi.
Aku tahu bahwa semua orang akan mempertanyakan kinerja ku, direktur utama perusahaan listrik negara ini. Tapi memang itu yang kuinginkan.

Hiruk pikuk Jakarta akan berhenti sekejap dalam gelap, lalu setiap orang akan mulai peduli dengan sekitarnya.
Semua orang akan keluar dari kediamannya, mencari secercah cahaya dan berkomunikasi dengan orang yg bahkan mungkin tak pernah ia sadari ada di dekatnya. Orang-orang akan berkumpul di halaman rumahnya masing-masing, dan berbincang hangat sambil menunggu lampu menyala kembali. Bermain badminton, bergosip santai, atau bahkan mencaci maki si pemadam listrik.

Indah bukan?

Mengganggu sejenak aktivitas si pejabat-pejabat penting, dan memberi kesempatan si penting berpikir sejenak soal kerugiannya dan rakyatnya dengan padamnya lampu.

Memberi si cerdas ide-ide menggelitik, dan memberikan solusi sumber energi yang lebih menjanjikan.
Telepon kantor mulai dipenuhi deringan bising dari orang-orang yg ingin aliran listrik segera normal.

Seorang karyawan memasuki ruanganku, wajahnya bingung. dan heran, tentang pemadaman yg tanpa alasan.

“pak, berapa lama lagi aliran listrik dipadamkan?” tanyanya.
“lima belas menit lagi,” aku tersenyum.
Dan karyawanku keluar ruangan dengan raut yg semakin bingung.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;